Oleh : Sufriyansyah, MA.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi
(RB) dalam waktu dekat akan mengangkat tenaga honorer kategori I atau
honor daerah menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tentu ini
menjadi kabar gembira bagi para guru dan pegawai honorer yang telah lama
berkerja di berbagai sekolah dan instansi pemerintah. Berdasarkan data
dari website Badan Kepegawaian Negara (BKN) tercatat 2398 tenaga honorer
di Sumut yang lulus verifikasi dan validasi dan akan segera diangkat
menjadi CPNS.
Pemerintah telah
membagi tenaga honorer ke dalam dua kategori. Pertama, honorer kategori I
(K1), yakni yang diangkat sebelum 1 Januari 2005 dan mendapat honor
dari APBN/APBD, atau sering disebut honor daerah (Honda). Kedua, honorer
kategori II (K2) yakni honorer yang gajinya tidak bersumber dari
APBN/APBD. Wakil Menteri PAN dan RB, Eko Prasojodi beberapa media
menyatakan, proses verifikasi honorer K1 sudah rampung dan akan diangkat
tahun ini.Sedangkan honorer K2 jumlahnya sekitar 640 ribu orang.
Pengangkatan honorer K2 sebagai CPNS paling banyak 30 persen dari jumlah
tersebut dan harus melalui proses seleksi antar tenaga honorer.
Walaupun verifikasi honorer K1 telah rampung, namun pada kenyataannya
proses pengangkatan honorer masih menyisakan masalah. Hingga kini belum
ada kejelasan nasib honorer K1 yang tidak lolos seleksi. Hal ini
ditambah dengan berkembangnya kabar pemalsuan data honorer. Sebuah media
cetak memberitakan ada dugaan pemalsuan data honorer K1 yang lulus
verifikasi dan validasi (verval). Dari 251 tenaga honorer Pemko Medan
yang lolos verval, beberapa data tenaga honorer ditemukan data tahun
pengangkatan yang diusulkan tidak sesuai dengan data sebenarnya. (Sumut
Pos, 14/4/2012).
Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2005 dan PP
Nomor 43 Tahun 2007 tentang pengadaan CPNS dari tenaga honorer serta
Surat Edaran (SE) Menteri PAN dan RB Nomor 5 Tahun 2010 tentang
pendataan tenaga honorer yang bekerja di lingkungan pemerintah, telah
menimbulkan efek yang besar bagi peningkatan jumlah honorer di daerah.
Harian Kompas menyebutkan sejumlah pemerintah daerah diduga merekayasa
jumlah guru honorer dengan memanfaatkan kesepakatan antara pemerintah
pusat dengan DPR agar guru honorer yang bertugas sebelum 1 Januari 2005
diangkat sebagai PNS.
Sebelumnya diperkirakan, jumlah honorer K1 berjumlah sekitar 54.000
orang. Namun, saat dilakukan verifikasi pada 31 Januari 2011, jumlah
tenaga honorer yang diajukan pemerintah daerah meningkat lebih dari
150.000 orang (Kompas, 6/3/2012). Modus yang banyak dilakukan adalah
mengubah surat keputusan (SK) penugasan sebagai honorer, seolah-olah
sebelum 1 Januari 2005, sehingga terbuka peluang menjadi PNS. Akibatnya,
jumlah tenaga honorer yang diusulkan menjadi PNS membengkak. Tragisnya,
ada honorer yang sudah lama bekerja jauh sebelum 2005 malah tidak
diangkat. Sementara yang baru menjadi honorer langsung diangkat karena
memiliki koneksi birokrasi di daerah.
Hingga saat ini, belum ada aturan yang jelas tentang pengangkatan
honorer. Pemerintah terkesan lamban dalam menyelesaikan permasalahan
honorer. Pemerintah berdalih bahwa peraturan itu masih dalam proses
penyelesaian. Sementara, kepala instansi atau sekolah masih terus dan
dengan leluasa mengangkat honorer dengan alasan kekurangan pegawai. Guru
dan pegawai honor yang diangkat seringkali tidak memiliki kualifikasi
yang jelas, dan bisa diangkat dari kalangan keluarga, anak pejabat, atau
karena memiliki koneksi tertentu. Bahkan ada yang rela membayar dan
digaji rendah asalkan bisa menjadi honorer. Sebab, mereka meyakini
honorer merupakan pintu masuk menjadi pegawai negeri.
Menumpuknya tenaga honor baik yang bekerja di instansi pemerintah atau
sebagai guru honor di sekolah negeri disikapi pemerintah dengan akan
menghapus tenaga honorer. Menurut Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidikan Kemendikbud, Syawal
Gultom, ke depan, pemerintah akan meniadakan guru honor, terutama di
sekolah negeri. Mantan Rektor Unimed itu menyatakan, dalam waktu dekat,
pemerintah akan merampungkan rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer yang saat ini masih dibahas
antar-kementerian.
Anggaran Daerah Terkuras
Membengkaknya tenaga honorer yang akan diangkat menjadi PNS bisa
mengakibatkan keuangan pemerintahan daerah (Pemda) terkuras habis untuk
membiayai gaji pegawai negeri. Hal ini ditunjukkan dengan data yang
dilansir BKN Desember 2011 di mana rata-rata belanja pegawai di setiap
daerah sekitar 30 hingga 50 persen.Bahkan, Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) merilis 291 kabupaten/kota yang
memproyeksikan belanja pegawainya lebih dari 50 persen. Dari data
tersebut, terdapat 11 daerah yang memiliki belanja pegawai lebih dari 70
persen dari APBD-nya.
Perekrutan PNS yang kurang memperhitungkan kemampuan anggaran daerah
berakibat pada kemampuan daerah untuk menyediakan pelayanan publik
menjadi terbatas. Jika anggaran daerah tersedot untuk membiayai gaji
pegawai, yang dirugikan sebenarnya adalah masyarakat. Pemda tentu akan
kekurangan anggaran untuk infrastruktur dan pelayanan publik. Pada
gilirannya, aktivitas ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat akan
menurun
Masalah ini sebenarnya bukan isu baru. Saat awal bergulirnya era otonomi
daerah pada 2001, pemerintah pusat sudah mengkhawatirkan pelimpahan
kewenangan pengusulan PNS ke daerah berdampak pada keuangan daerah.
Sebab, kriteria penambahan formasi PNS di daerah acapkali berbeda dengan
hasil analisis pemerintah pusat. Pemerintah daerah lebih sering
mempertimbangkan aspek pragmatis dibanding mengangkat PNS sesuai dengan
hasil analisis jabatan dan kebutuhan di lapangan.
Reformasi birokrasi yang digalakkan pemerintah nyatanya masih jauh dari
yang diharapkan. Kesadaran untuk menciptakan good governance bisa jadi
akan merugikan pejabat-pejabat daerah yang biasa bermain di ranah
publik. Logikanya, jika tenaga honorer di daerah membengkak,dan
pengangkatan honorer akan melalui seleksi, maka kesempatan mencari
keuntungan pribadi akan semakin besar. Bukan rahasia lagi jika proses
pengangkatan PNS, khususnya di daerah-daerah masih jauh dari kata bersih
dan berkualitas.
Sebagian pejabat daerah memanfaatkan kesempatan itu untuk menempatkan
keluarga dan kerabatnya di berbagai instansi pemerintah. Proses
perekrutan pegawai menjadi tidak fair, penuh kolusi dan kecurangan.
Perekrutan pegawai negeri yang tidak berkualitas akan berakibat terhadap
rendahnya kinerja pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Pendapat yang
berkembang di masyarakat saat ini, untuk menjadi pegawai negeri harus
memiliki koneksi ke pejabat daerah dan harus mampu menyediakan uang
puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Pemborosan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah nyatanya tidak
sejalan dengan upaya penghematan yang dicanangkan pemerintah akibat
dari batalnya kenaikan harga bahan bakar minyak. Di tengah upaya
pemerintah dalam menghemat anggaran belanja, Pemda malah menghimpun
sebanyak-banyaknya tenaga honorer agar dapat diangkat menjadi PNS. Pada
kenyataannya, Pemda sebenarnya bukan kekurangan pegawai, tapi
penempatannya yang tidak merata. Sering dijumpai guru-guru negeri
menumpuk di sekolah tertentu khususnya di perkotaan karena mutasi dari
sekolah pedalaman ke perkotaan. Akibatnya, banyak sekolah negeri di
pedesaan yang kekurangan guru dan pegawai karena kebijakan mutasi yang
tidak tepat sasaran.
Penutup
Saat ini, data tenaga honorer K2 sedang dalam proses verifikasi dan
validasi. Oleh sebab itu, tenaga honorer hendaknya mewaspadai berbagai
upaya penipuan yang dilakukan pihak-pihak yang mengatasnamakan pejabat
tertentu terkait pengangkatan honorer menjadi CPNS. Agar tidak
menimbulkan kecurigaan dan kecurangan, pemerintah pusat perlu membentuk
tim independen yang dapat mengawasi mekanisme seleksi pengangkatan di
setiap kabupaten dan kota di Indonesia. Mempercayakan sepenuhnya pada
BKN atau BKD dalam proses pengangkatan honorer menjadi pegawai negeri
hanya akan menimbulkan peluang dan dijadikan momen bagi oknum-oknum yang
bermaksud mencari keuntungan besar melalui calo PNS.
Selanjutnya, pemerintah harus segera menerbitkan peraturan yang jelas
tentang pengangkatan honorer. Sebab, proses pengangkatan tenaga honorer
seringkali mengabaikan standar kompetensi. Kalaupun sekolah dan instansi
diberi kewenangan mengangkat tenaga honor, pemerintah harus menetapkan
standar yang jelas dan terukur dan mengawasi pelaksanaannya secara
ketat. Pemerintah juga harus terus menerus memberikan pendidikan dan
pelatihan pada tenaga honorer agar kualitasnya semakin baik. Kejelasan
status guru dan pegawai honorer merupakan hal penting sehingga tidak
mengganggu kinerja mereka dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.
Pemerintah sudah sepantasnya tidak bisa lepas tangan. Kesejahteraan
tenaga honorer memang harus diperhatikan.***
Penulis adalah pendidik dan pemerhati masalah sosial. Tinggal di
Kecamatan Sunggal, Deli Serdang..
http://www.analisadaily.com