Daftar Blog Saya

Selasa, 24 Juli 2012

Mengawal Proses Pengangkatan Honorer Menjadi CPNS

Oleh : Sufriyansyah, MA. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi (RB) dalam waktu dekat akan mengangkat tenaga honorer kategori I atau honor daerah menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tentu ini menjadi kabar gembira bagi para guru dan pegawai honorer yang telah lama berkerja di berbagai sekolah dan instansi pemerintah. Berdasarkan data dari website Badan Kepegawaian Negara (BKN) tercatat 2398 tenaga honorer di Sumut yang lulus verifikasi dan validasi dan akan segera diangkat menjadi CPNS.
Pemerintah telah membagi tenaga honorer ke dalam dua kategori. Pertama, honorer kategori I (K1), yakni yang diangkat sebelum 1 Januari 2005 dan mendapat honor dari APBN/APBD, atau sering disebut honor daerah (Honda). Kedua, honorer kategori II (K2) yakni honorer yang gajinya tidak bersumber dari APBN/APBD. Wakil Menteri PAN dan RB, Eko Prasojodi beberapa media menyatakan, proses verifikasi honorer K1 sudah rampung dan akan diangkat tahun ini.Sedangkan honorer K2 jumlahnya sekitar 640 ribu orang. Pengangkatan honorer K2 sebagai CPNS paling banyak 30 persen dari jumlah tersebut dan harus melalui proses seleksi antar tenaga honorer.

Walaupun verifikasi honorer K1 telah rampung, namun pada kenyataannya proses pengangkatan honorer masih menyisakan masalah. Hingga kini belum ada kejelasan nasib honorer K1 yang tidak lolos seleksi. Hal ini ditambah dengan berkembangnya kabar pemalsuan data honorer. Sebuah media cetak memberitakan ada dugaan pemalsuan data honorer K1 yang lulus verifikasi dan validasi (verval). Dari 251 tenaga honorer Pemko Medan yang lolos verval, beberapa data tenaga honorer ditemukan data tahun pengangkatan yang diusulkan tidak sesuai dengan data sebenarnya. (Sumut Pos, 14/4/2012).

Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2005 dan PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang pengadaan CPNS dari tenaga honorer serta Surat Edaran (SE) Menteri PAN dan RB Nomor 5 Tahun 2010 tentang pendataan tenaga honorer yang bekerja di lingkungan pemerintah, telah menimbulkan efek yang besar bagi peningkatan jumlah honorer di daerah. Harian Kompas menyebutkan sejumlah pemerintah daerah diduga merekayasa jumlah guru honorer dengan memanfaatkan kesepakatan antara pemerintah pusat dengan DPR agar guru honorer yang bertugas sebelum 1 Januari 2005 diangkat sebagai PNS.

Sebelumnya diperkirakan, jumlah honorer K1 berjumlah sekitar 54.000 orang. Namun, saat dilakukan verifikasi pada 31 Januari 2011, jumlah tenaga honorer yang diajukan pemerintah daerah meningkat lebih dari 150.000 orang (Kompas, 6/3/2012). Modus yang banyak dilakukan adalah mengubah surat keputusan (SK) penugasan sebagai honorer, seolah-olah sebelum 1 Januari 2005, sehingga terbuka peluang menjadi PNS. Akibatnya, jumlah tenaga honorer yang diusulkan menjadi PNS membengkak. Tragisnya, ada honorer yang sudah lama bekerja jauh sebelum 2005 malah tidak diangkat. Sementara yang baru menjadi honorer langsung diangkat karena memiliki koneksi birokrasi di daerah.

Hingga saat ini, belum ada aturan yang jelas tentang pengangkatan honorer. Pemerintah terkesan lamban dalam menyelesaikan permasalahan honorer. Pemerintah berdalih bahwa peraturan itu masih dalam proses penyelesaian. Sementara, kepala instansi atau sekolah masih terus dan dengan leluasa mengangkat honorer dengan alasan kekurangan pegawai. Guru dan pegawai honor yang diangkat seringkali tidak memiliki kualifikasi yang jelas, dan bisa diangkat dari kalangan keluarga, anak pejabat, atau karena memiliki koneksi tertentu. Bahkan ada yang rela membayar dan digaji rendah asalkan bisa menjadi honorer. Sebab, mereka meyakini honorer merupakan pintu masuk menjadi pegawai negeri.

Menumpuknya tenaga honor baik yang bekerja di instansi pemerintah atau sebagai guru honor di sekolah negeri disikapi pemerintah dengan akan menghapus tenaga honorer. Menurut Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidikan Kemendikbud, Syawal Gultom, ke depan, pemerintah akan meniadakan guru honor, terutama di sekolah negeri. Mantan Rektor Unimed itu menyatakan, dalam waktu dekat, pemerintah akan merampungkan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengangkatan Tenaga Honorer yang saat ini masih dibahas antar-kementerian.

Anggaran Daerah Terkuras

Membengkaknya tenaga honorer yang akan diangkat menjadi PNS bisa mengakibatkan keuangan pemerintahan daerah (Pemda) terkuras habis untuk membiayai gaji pegawai negeri. Hal ini ditunjukkan dengan data yang dilansir BKN Desember 2011 di mana rata-rata belanja pegawai di setiap daerah sekitar 30 hingga 50 persen.Bahkan, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis 291 kabupaten/kota yang memproyeksikan belanja pegawainya lebih dari 50 persen. Dari data tersebut, terdapat 11 daerah yang memiliki belanja pegawai lebih dari 70 persen dari APBD-nya.

Perekrutan PNS yang kurang memperhitungkan kemampuan anggaran daerah berakibat pada kemampuan daerah untuk menyediakan pelayanan publik menjadi terbatas. Jika anggaran daerah tersedot untuk membiayai gaji pegawai, yang dirugikan sebenarnya adalah masyarakat. Pemda tentu akan kekurangan anggaran untuk infrastruktur dan pelayanan publik. Pada gilirannya, aktivitas ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat akan menurun

Masalah ini sebenarnya bukan isu baru. Saat awal bergulirnya era otonomi daerah pada 2001, pemerintah pusat sudah mengkhawatirkan pelimpahan kewenangan pengusulan PNS ke daerah berdampak pada keuangan daerah. Sebab, kriteria penambahan formasi PNS di daerah acapkali berbeda dengan hasil analisis pemerintah pusat. Pemerintah daerah lebih sering mempertimbangkan aspek pragmatis dibanding mengangkat PNS sesuai dengan hasil analisis jabatan dan kebutuhan di lapangan.

Reformasi birokrasi yang digalakkan pemerintah nyatanya masih jauh dari yang diharapkan. Kesadaran untuk menciptakan good governance bisa jadi akan merugikan pejabat-pejabat daerah yang biasa bermain di ranah publik. Logikanya, jika tenaga honorer di daerah membengkak,dan pengangkatan honorer akan melalui seleksi, maka kesempatan mencari keuntungan pribadi akan semakin besar. Bukan rahasia lagi jika proses pengangkatan PNS, khususnya di daerah-daerah masih jauh dari kata bersih dan berkualitas.

Sebagian pejabat daerah memanfaatkan kesempatan itu untuk menempatkan keluarga dan kerabatnya di berbagai instansi pemerintah. Proses perekrutan pegawai menjadi tidak fair, penuh kolusi dan kecurangan. Perekrutan pegawai negeri yang tidak berkualitas akan berakibat terhadap rendahnya kinerja pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Pendapat yang berkembang di masyarakat saat ini, untuk menjadi pegawai negeri harus memiliki koneksi ke pejabat daerah dan harus mampu menyediakan uang puluhan sampai ratusan juta rupiah.

Pemborosan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah nyatanya tidak sejalan dengan upaya penghematan yang dicanangkan pemerintah akibat dari batalnya kenaikan harga bahan bakar minyak. Di tengah upaya pemerintah dalam menghemat anggaran belanja, Pemda malah menghimpun sebanyak-banyaknya tenaga honorer agar dapat diangkat menjadi PNS. Pada kenyataannya, Pemda sebenarnya bukan kekurangan pegawai, tapi penempatannya yang tidak merata. Sering dijumpai guru-guru negeri menumpuk di sekolah tertentu khususnya di perkotaan karena mutasi dari sekolah pedalaman ke perkotaan. Akibatnya, banyak sekolah negeri di pedesaan yang kekurangan guru dan pegawai karena kebijakan mutasi yang tidak tepat sasaran.

Penutup

Saat ini, data tenaga honorer K2 sedang dalam proses verifikasi dan validasi. Oleh sebab itu, tenaga honorer hendaknya mewaspadai berbagai upaya penipuan yang dilakukan pihak-pihak yang mengatasnamakan pejabat tertentu terkait pengangkatan honorer menjadi CPNS. Agar tidak menimbulkan kecurigaan dan kecurangan, pemerintah pusat perlu membentuk tim independen yang dapat mengawasi mekanisme seleksi pengangkatan di setiap kabupaten dan kota di Indonesia. Mempercayakan sepenuhnya pada BKN atau BKD dalam proses pengangkatan honorer menjadi pegawai negeri hanya akan menimbulkan peluang dan dijadikan momen bagi oknum-oknum yang bermaksud mencari keuntungan besar melalui calo PNS.

Selanjutnya, pemerintah harus segera menerbitkan peraturan yang jelas tentang pengangkatan honorer. Sebab, proses pengangkatan tenaga honorer seringkali mengabaikan standar kompetensi. Kalaupun sekolah dan instansi diberi kewenangan mengangkat tenaga honor, pemerintah harus menetapkan standar yang jelas dan terukur dan mengawasi pelaksanaannya secara ketat. Pemerintah juga harus terus menerus memberikan pendidikan dan pelatihan pada tenaga honorer agar kualitasnya semakin baik. Kejelasan status guru dan pegawai honorer merupakan hal penting sehingga tidak mengganggu kinerja mereka dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Pemerintah sudah sepantasnya tidak bisa lepas tangan. Kesejahteraan tenaga honorer memang harus diperhatikan.***

Penulis adalah pendidik dan pemerhati masalah sosial. Tinggal di Kecamatan Sunggal, Deli Serdang..

http://www.analisadaily.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar